.......>>>> Otak
manusia merupakan bagian tubuh paling kompleks yang pernah dikenal di
alam semesta. Inilah satu-satunya organ yang senantiasa berkembang
sehingga ia dapat mempelajari dirinya sendiri. Jika dirawat oleh tubuh
yang sehat dan lingkungan yang menimbulkan rangsangan, otak itu akan
berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun.
Bobby De Porter & Mike Hernacki sekitar tahun 90-an meluncurkan buku yang sangat terkenal yaitu
Quantum Learning :
Unleashing The Genius In You, yang diterjemahkan oleh Penerbit Kaifa dengan judul
Quantum Learning :
Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (1992). Dalam bukunya itu, kedua penulis menitikberatkan pada upaya untuk memanfaatkan potensi otak manusia secara optimal.
Dalam hipotesisnya, Bobby De Porter & Mike Hernacki menyatakan bahwa otak manusia terdiri dari 3 (tiga) bagian dasar, yaitu
batang atau “
otak reptile“,
system limbik atau “
otak mamalia” dan
neokorteks.
Ketiga bagian itu masing-masing berkembang pada waktu yang berbeda dan
mempunyai struktur syaraf tertentu serta mengatur tugasnya
masing-masing. Batang atau otak reptile adalah komponen kecerdasan
terendah dari manusia. Ia bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi
sensor motorik sebagai insting mempertahankan hidup dan pengetahuan
tentang realitas fisik yang berasal dari pancaindera. Apabila otak
reptile ini dominan, maka kita tidak dapat berfikir pada tingkat yang
sangat tinggi.
Di sekeliling otak reptile terdapat sistim limbik yang sangat kompleks
dan luas. Sistim limbik ini terletak di tengah otak yang fungsinya
bersifat emosional dan kognitif. Perasaan, pengalaman yang
menyenangkan, memori dan kemampaun belajar dikendalikan oleh sistim
limbik ini. Sistim ini juga merupakan panel control yang menggunakan
informasi dari pancaindra untuk selanjutnya didistribusikan ke bagian
neokorteks.
Neokorteks adalah bagian otak yang menyimpan kecerdasan yang lebih
tinggi. Penalaran, berfikir secara intelektual, pembuatan keputusan,
bahasa, perilaku yang baik, kendali motorik sadar dan penciptaan gagasan
(idea) berasal dari pengaturan neokorteks. Menurut Howard Gardner,
kecerdasan majemuk (multiple intelegence) berada pada bagian ini. Bahkan
pada bagian ini pula terdapat intuisi yaitu kemampuan untuk menerima
atau menyadari informasi yang tidak diterima oleh pancaindera.
Selain tiga bagian diatas, otak juga dibagi menjadi dua belahan
penting, yaitu otak kiri dan otak kanan, yang masing-masing bertanggung
jawab atas cara berfikir yang berbeda-beda, walau penyilangan antara
dua bagian itu pun tetap ada. Otak kiri bersifat logis, sekuensial,
linier dan rasional. Otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif
dan holistik.
Kedua bagian belahan otak itu amat penting dalam kecerdasan dan tingkat
kesuksesan. Orang yang mampu memanfaatkan kedua belahan otak ini
secara proporsional akan cenderung seimbang dalam setiap aspek
kehidupannya. Tentunya dalam kegiatan pembelajaran yang mengacu dan
memperhatikan kedua belahan otak ini juga akan menentukan sejauhmana
tingkat kecerdasan yang dapat diraih oleh peserta didik.
Paradigma pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan kecerdasan
selayaknya mengacu pada perkembangan otak manusia seutuhnya. Realitas
pembelajaran dewasa ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar mengajar
lebih banyak mengacu pada target pencapaian kurikulum dibandingkan
dengan menciptakan siswa yang cerdas secara utuh. Akibatnya, peserta
didik dijejali dengan berbagai macam informasi tanpa diberi kesempatan
untuk melakukan telaahan dan perenungan secara kritis, sehingga tidak
mampu memberikan respons yang positif. Mereka dianggap seperti kertas
kosong yang siap menerima coretan informasi dan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, kegiatan yang terjadi di dalam ruang belajar masih
bersifat tradisional yakni menempatkan guru pada posisi sentral
(teacher centered) dan siswa sebagai objek pembelajaran dengan aktivitas
utamanya untuk menerima dan menghafal materi pelajaran, mengerjakan
tugas dengan penuh keterpaksaan, menerima hukuman atas kesalahan yang
diperbuat, dan jarang sekali mendapat penghargaan dan pujian atas
jerih-payahnya.
Oleh karena itu, dalam upaya mengubah paradigma pembelajaran sehingga
dapat memberdayakan otak secara optimal, pendapat Eric Jensen dalam
bukunya
Brain Based Learning, patut untuk dijadikan rujukan.
Dia menawarkan sebuah konsep dalam menciptakan pembelajaran dengan
orientasi pada upaya pemberdayaan otak siswa. Menurutnya ada tiga
strategi berkaitan dengan cara kita mengimplementasikan pembelajaran
berbasis kemampuan otak, yaitu :
- menciptakan suasana atau lingkungan yang mampu merangsang
kemampuan berpikir siswa. Strategi ini bisa dilakukan terutama pada
saat guru memberikan soal-soal untuk mengevaluasi materi pelajaran.
Soal-soal yang diberikan harus dikemas seatraktif mungkin sehingga
kemampuan berpikir siswa lebih otimal, seperti melalui teka-teki,
simulasi, permainan dan sebagainya.
- menghadirkan siswa dalam lingkungan pembelajaran yang cukup
menyenangkan. Guru tidak hanya memanfaatkan ruangan kelas untuk belajar
siswa, tetapi juga tempat-tempat lainnya, seperti di taman, di lapangan
bahkan diluar kampus. Guru harus menghindarkan situasi pembelajaran
yang dapat membuat siswa merasa tidak nyaman, mudah bosan atau tidak
senang terlibat di dalamnya. Strategi pembelajaran yang digunakan lebih
menekankan pada diskusi kelompok yang diselingi permainan menarik
serta variasi lain yang kiranya dapat menciptakan suasana yang
menggairahkan siswa dalam belajar.
- membuat suasana pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Pembelajaran yang aktif dan bermakna hanya dapat dilakukan apabila siswa
secara fisik maupun psikis dapat beraktivitas secara optimal. Strategi
pembelajaran yang digunakan dikemas sedemikian rupa sehingga siswa
terlibat secara aktraktif dan interaktif, melalui model pembelajaran
yang bersifat demontrasi.
Apa yang dikemukakan Eric Jensen di atas merupakan upaya konkret
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun, kunci keberhasilan itu
semua terletak pada kemauan dan kemampuan guru untuk mereformasi cara
dan strategi pembelajarannya serta berani untuk menggeser paradigma
berfikirnya, sehingga lebih bersifat praksis ketimbang teoritis.